“Periode Januari-Desember 2023, angka perceraian meningkat dratis di Provinsi Aceh, sebanyak 6.091 pasangan mengajukan perceraian gugat dan cerai talak,” papar Manager Kasus dan Advokasi YBHA Vatta Arisva.
Jurnalis: Sudirman Hamid
ANTARAN | BANDA ACEH – Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) Peutuah Mandiri Provinsi Aceh mencatat dan memperoleh data dari Mahkamah Syar’iyah Aceh, sebanyak 6.091 pasangan suami istri (Pasutri) mengajukan proses perceraian di seluruh Aceh.
Manager Kasus dan Advokasi YBHA Aceh, Vatta Arisva, S.H, M.H dalam siaran persnya yang diterima antaran menyebutkan, dari jumlah Pasutri yang mengajukan perceraian tersebut, rata-rata setiap hari 17 pasangan bercerai di seantero Aceh.
“Periode Januari-Desember 2023, angka perceraian meningkat dratis di Provinsi Aceh, tembus 6.091 pasangan mengajukan cerai gugat dan cerai talak. Kondisi ini memantik perhatian masyarakat dan memiris hati,” papar Manager Kasus dan Advokasi YBHA Vatta Arisva, Sabtu (20/1/2024).
Menurut Vatta Arisva, berdasarkan data Mahkamah Syar’iyah Aceh, cerai gugat dan cerai talak sebanyak 6.091 tersebut, lima daerah menunjukan rangking tertinggi dari 23 kabupaten/kota di Aceh, meliputi Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Bireuen.
Seyogyanya, kata YBHA Peutuah Mandiri, rumah tangga yang seharusnya dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, berakhir dengan perceraian. Situasi ini tentu dihadapkan dengan berbagai problema. Seharusnya, langkah perceraian adalah alternatif terakhir yang ditempuh.
YBHA Peutuah Mandiri, menyatakan keprihatinan atas melonjaknya perceraian di Aceh. Kasus perceraian semestinya menjadi tanggungjawab bersama agar kedepannya dapat ditekan agar berkurang.
Peran lembaga peradilan yang memutus perceraian, tentunya mesti mengefektifkan proses mediasi agar jangan sampai perceraian terjadi.
“Lembaga peradilan sepatutnya mengupayakan secara maksimal agar setiap rumah tangga yang berada diujung tanduk tersebut kembali harmonis dan damai. Harapan kita,tujuan pernikahan yakni sakinah mawaddah dan warahmah dapat tercapai,” paparnya.
Peran tersebut, tuturnya, harus didukung berbagai pihak. KUA sebagai corong awal perkawinan, mendorong upaya penyadaran pra-perkawinan bagi setiap pasangan yang akan menikah. Para calon pengantin diberikan pemahaman yang utuh terhadap potensi gejolak-gejolak yang akan muncul dalam biduk rumah tangga.
“Memang tidak bisa dipungkiri, polemik, riak-riak kecil, konflik dan keribukan pasti terjadi dalam bahtera rumah tangga. Disini dibutuhkan proses kedewasaan dan kesabaran untuk menangkis dan meredam terjadinya keretakan dalam rumah tangga agar terwujud kebahagiaan dan kedamaian,” ujar Vatta Arsiva.
Menyikapi tingginya angka perceraian di Aceh, YBHA mendesak KUA membuka ruang terbuka bagi pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Perkenankan pasangan membicarakan isi hati terkait perbedaan pandangan, pekerjaan (ekonomi), mendidik anak, termasuk pencerahan pengetahuan agama sebagai pondasi kekokohan rumah tangga.
Selebihnya, peran tokoh masyarakat dan perangkat gampong (desa) sangat dibutuhkan untuk mengontrol dan menasehati Pasutri yang mulai muncul pernak pernik keretakan atau pertengkaran dalam rumah tangga.
Masih keterangan YBHA Peutuah Mandiri, efek dari perceraian akan berpengaruh pada psikologis anak dan perselisihan dalam perebutan hak asuh anak. Anak menjadi bahan yang akan diperebutkan Pasutri yang sedang bercerai. Faktor ini berpengaruh pada pertumbuhan, perkembangan dan psikologis anak.
Apabila disimulasikan pada program Kelurga Berencana (KB), setiap keluarga cukup punya dua anak, maka dapat dipastikan ada 12.182 anak-anak Aceh menjadi broken home dan membutuhkan perhatian serta penanganan psikologis, ekonomi secara khusus.
“Anak-anak pasca perceraian berpotensi sebagai penyumbang angka permasalahan sosial di kemudian hari, apabila tidak ditangani secara serius. Penyebabnya, perhatian, kepedulian dan kasih sayang diduga sudah tidak tersentuh lagi kepada mereka,” imbuh Vatta Arisva.
Harapan kami, kasus-kasus perceraian dapat disikapi dengan serius karena menyangkut kehidupan berkeluarga serta perkembangan si anak. Anak dilindungi oleh Negara dan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat 2.
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satu unsur mencegah perceraian sama dengan mengurangi angka penelantaran, kekerasan dan anak putus sekolah,” tutup Vatta Arisva. (*)