Beberapa mengalami gejala umum. Merasa ditinggalkan teman, kesepian, kurang dibutuhkan, lebih sensitif, tidak lagi dihargai. Sebagian terserang gejala lebih akut. Merasa dibenci masyarakat, dimusuhi rakyat sendiri, diserang banyak pihak, hingga menarik diri dari pergaulan sosial, menutup diri, dan menghindari tempat-tempat keramaian.
Kolumnis : Affan Ramli
Perbincangan di warung-warung kopi Aceh belakangan, lebih panas dari biasanya. Mengikuti ulasan kabar tarung politik di halaman muka koran-koran lokal, seputar pergantian kekuasaan gubernur, bupati, dan wali kota. Banyak isu diobrolkan. Umumnya didorong rasa penasaran, siapa penjabat, atau Pj baru dipilih Kemendagri untuk daerah mereka.
Separuhnya menduga-duga, bagaimana cara Pj baru mengelola kekuasaan. Penguasa lama, juga dibincangkan, tetapi kali ini lebih banyak dari sisi kegagalan-kegagalan, kelemahan-kelemahan, dan kekonyolan-kekonyolan. Saya ingin melihat sudut lain dari proses ini.
Dipengaruhi seorang psikiater Inggris, Dame Jane Roberts, yang juga seorang politisi Partai Buruh. Ia mengamati perubahan-perubahan perilaku para politisi setelah turun dari kekuasaan. Studi Jane itu pada 2017 diterbitkan dalam bukunya Losing Political Office, atau kehilangan jabatan politik.
Penelitian Jane menemukan fakta bahwa kekuasaan, bagi para politisi telah dipandang sebagai identitas, seperti melekat, bagian dari dirinya yang tak terpisah. Kehilangan kekuasaan, karenanya suatu peristiwa mengguncang seperti kehilangan identitas diri, tuwoe droe atau tuwoe nan droe. Punya dampak-dampak gangguan mental, pada akhirnya berujung gangguan pikiran serius.
Namun, dampak kejiwaan karena kehilangan jabatan tidak pernah sama. Satu presiden mengalami efek psikis berbeda dari presiden lainnya. Satu gubernur, bupati, dan walikota punya tingkat keguncangan berbeda dari gubernur, bupati, dan walikota lainnya, saat mereka turun dari kekuasaan politik, yang telah mereka nikmati bertahun-tahun.
Beberapa mengalami gejala umum. Merasa ditinggalkan teman, kesepian, kurang dibutuhkan, lebih sensitif, tidak lagi dihargai. Sebagian terserang gejala lebih akut. Merasa dibenci masyarakat, dimusuhi rakyat sendiri, diserang banyak pihak, hingga menarik diri dari pergaulan sosial, menutup diri, dan menghindari tempat-tempat keramaian.
Sedikit dari para politisi, mengalami gejala-gejala ringan. Merasa pernah sangat berjasa, masih pantas menjadi pusat perhatian, masih layak menjadi rujukan, masih paling unggul dalam bergagasan, dan masih harus dipatuhi. Pun begitu, ada juga satu dua politisi yang lolos dari serangan gangguan mental selesai berkuasa (post power syndrome).
Para ahli kesehatan jiwa telah duduk rembuk, memperdebatkan jawaban paling memuaskan, mengapa kehilangan jabatan politik punya dampak berbeda pada gangguan mental kalangan para politisi?
Tiga jawaban biasanya disodorkan. Pertama, perbedaan lamanya waktu berkuasa berpengaruh pada bedanya tingkat gangguan mental. Politisi yang berkuasa sepuluh tahun berisiko lebih tinggi terserang sindrom akut, dibanding berkuasa lima tahun. Kedua, perbedaan cara turun dari kekuasaan.
Orang yang dipaksa turun atau diusir dari kekuasaan kemungkinan lebih terkena gangguan mental dibandingkan orang-orang yang turun dari jabatan secara sukarela. Ketiga, perbedaan cara menikmati kekuasaan, berakibat lansung pada perbedaan dampak gangguan mental setelah kehilangan jabatan.
Jawaban ketiga, tentang cara menikmati kekuasaan, menarik studi dan riset-riset lanjutan di kalangan psikiater. David Owen (2007), meneliti ‘cara menikmati kekuasaan’ para politisi populer dalam 100 tahun terakhir, membawanya sampai pada terobosan teori baru. Owen menyebutnya Sindrom Hubris (Hubris Syndrome). Kata ‘hubris’ berasal dari bahasa Yunani kuno, bermakna dua: ‘mengundang bencana’ atau ‘keangkuhan’.
Sindrom Keangkuhan
Sindrom hubris (atau sindrom keangkuhan), adalah suatu kondisi dimana perilaku orang-orang yang berkuasa berubah lebih buruk karena terlalu menikmati peningkatan kekuasaan dan pengaruh. Sindrom ini menyebabkan perubahan tertentu pada otak para penguasa. Mereka kehilangan kontak dengan kenyataan, terlalu bangga dengan tindakan sendiri, empati lebih rendah terhadap orang lain, dan mengambil keputusan atau tindakan arogan tanpa pemikiran yang memadai.
Teori sindrom hubris Owen, ingin membuktikan hubungan sebab akibat antara perilaku kekuasaan dan gangguan mental. Ia mengutip filsuf Inggris, Bertrand Russell yang menggugah, apa yang akan terjadi bila ‘kerendahan hati yang diperlukan’ selama berkuasa hilang, ketika kontrol atas kesombongan terhapus. Para politisi berjalan menuju suatu jenis kegilaan, mabuk kekuasaan.
Rumus yang ditawarkan Owen cukup simpel. Jenis gejala gangguan mental selesai berkuasa (post power syndrome) ditentukan oleh level stadium sindrom hubris yang diidap para politisi saat berkuasa. Sedikit sindrom hubris saat berkuasa menghasilkan sedikit gangguan mental, setelah turun dari kekuasaan. Sebaliknya, sindrom keangkuhan lebih parah masa berkuasa menghasilkan gejala gangguan mental lebih berat setelah turun dari kekuasaan.
Anggota keluarga, teman-teman dekat, kolega bisnis dan orang-orang di sekitaran mantan gubernur, bupati, dan wali kota yang baru saja turun tahta, perlu berusaha mengingat kembali seberapa serius sindrom hubris jagoan mereka dulu saat di tampuk kekuasaan.
Itu memudahkan perkiraan kemunculan sindrom pasca berkuasa yang akan mereka hadapi saat ini dan ke depan. Orang-orang terdekat mantan para penguasa tidak perlu terlalu kaget, perubahan-perubahan perilaku yang terlihat tiba-tiba, sebenarnya dapat dibaca jauh-jauh hari.
Perhatikan 14 ciri sindrom hubris para penguasa, mengikut teori David Owen. Seperti mboeng, suka membesar-besarkan kisah diri sendiri di hadapan audien mumpung lagi megang kekuasaan. Jampoek, mengutamakan citra diri, lebih mementingkan imej dibanding fakta.
Kee-bandum, menghayal dirinya sebagai pahlawan. Lebih suka kata ‘kekuasaan kami’ dalam percakapan harian, kepercayaan diri berlebihan, menghina orang lain secara terbuka, punya keyakinan tak tergoyahkan bahwa dia selalu benar, dan gagal memahami kenyataan.
Pun demikian, gangguan mental para politisi, lebih mudah diatasi, asal mereka tidak menyembunyikannya. Pergi ke psikiater, bercerita terbuka, menerima kenyataan mentalnya tidak baik-baik saja, dan mendapat penanganan yang tepat.
Sesekali, melengkapi pemulihan melalui program-program spiritual, di bawah arahan guru-guru sufi. Tetapi problemnya jadi berbeda, dan lebih serius, kalau gangguan mental sudah berefek pada gangguan sistem kerja pikiran. Masalahnya bergerak, dari isu psikologis (mental) ke isu epistemologis (akal).
Dapat dibayangkan bila sistem kerja akal berantakan. Padahal, akal satu-satunya alat yang dimiliki manusia, menjernihkan bacaan terhadap kenyataan sekitar, mengurai lapisan-lapisan fakta dari tumpukan data dan informasi bergunung yang datang saban waktu, dari ratusan sumber yang beragam.
Gangguan pikiran, karenanya membuat para politisi mantan penguasa tertimbun dalam ketidak-jernihan mengurai himpitan gudang informasi dan memori kekuasaaan lampau, di dalamnya bercampur baur fakta, hoaks, fitnah, dan halusinasi.
Begitupun, peristiwa gangguan pikiran para politisi turun tahta lebih mudah dipahami. Mengingat akal tidak berada di luar mental. Akal kita, sepaket dengan alat lain seperti perasaan, gudang ingatan (memori), dan intuisi di dalam mental sebagai perlengkapan saling bergantung saat membaca kenyataan.
Gangguan mental pada skala sindrom stadium tinggi, dapat lansung merusak sistem kerja akal manusia. Dibanding gangguan mental dan akal para politisi turun tahta, saya lebih sulit memahami gejala kerusakan akal pada publik kita.
Para komentator politik, aktifis media sosial, pegiat grup-grup whatsApp, simpatisan-simpatisan kubu politik, dan faksi-faksi mantan timses sebelumnya, semua mendadak juling, dalam makna metaforis. Hanya mampu melihat sisi jelek para penguasa lama, sambil menutup mata pada kebijakan-kebijakan mereka yang masih pantas diapresiasi.(*)