ANTARANNEWS.COM | BLANGPIDIE – Ketua Komisi D DPRK Aceh Barat Daya (Abdya), Ihsan Jufri menilai pemerintah terkesan diam menyangkut nasib petani sawit yang belakangan ini semakin terpuruk. Menyusul, terus anjloknya harga sawit hingga mencapai titik terendah dalam 2 tahun terakhir ini.
Berdasarkan laporan yang diterima antarannews.com, Jumat (17/6/2022) pagi, harga sawit hari ini kembali turun ditingkat pembelian pabrik rata-rat Rp 20/kg, atau turun dari harga Rp 1.530/kg menjadi Rp 1.510/kg. Sedangkan, ditingkat petani turun dari Rp 1.300/kg menjadi Rp 1.250/kg – Rp 1.280/kg.
Pernyataan itu disampaikan, Ihsan Jufri kepada antarannews.com, ketika menanggapi semakin terpuruknya harga sawit belakangan ini. Menurut Ihsan, kondisi harga sawit yang berlaku saat ini jelas membuat petani semakin menderita, karena tidak sesuainya biaya pemeliharaan kebun yang dikeluarkan dengan penghasilan yang diperoleh.
“Bayangkan saja harga pupuk non subsidi hari ini seperti, KCL sudah mendekati satu juta rupiah per zak (isi 50 kilogram). Belum lagi harga urea, TSP yang juga mengalami kenaikan hampir 100 persen lebih. Itu obat-obatan pertanian dan racun rumput yang juga naik rata-rata hampir 75 persen,” ungkap Ihsan Jufri politisi muda dari Partai Amanah Nasional (PAN) ini.
Kondisi ini, lanjutnya, jelas membuat petani menjerit, karena penghasilan kotor yang diperoleh cuma Rp 1,5 juta persekali panen dari produksi sawit 1,2 ton/hektar, dengan harga sawit hari ini Rp 1.250/kg. “Itu masih pendapatan kotor, dipotong ongkos panen Rp 200/kg, maka penghasilan yang diperoleh petani Cuma Rp 1.260.000 per hektar,” katanya.
Sedangkan, biaya pemeliharaan kebun sawit yang harus dikeluarkan setiap 3-4 bulan sekali mencapai Rp 8 juta hingga Rp 10 juta lebih per hektar. “Dengan hitungan ini jelas petani tidak mendapat penghasilan lagi, malah merugi,” keluhnya.
Bahkan, pihaknya menilai pemerintah belakangan ini terkesan diam saja, melihat nasib petani sawit yang semakin terpuruk ini. “Saya memang mempertanyakan dimana pemerintah saat ini, kok diam saja melihat rakyatnya yang terus menderita seperti ini,” katanya dengan nada kesal.
Padahal, pemerintah juga turun menikmati dari pendapatan dari ekspor CPO seperti, pajak bea keluar dan pungutan lainnya yang mencapai Rp 9 juta/ton setiap kali ekspor. “Ini kan dari hasil keringan petani sawit yang diperoleh. Kenapa nasib petani sawit dibiarkan menderita. Ini tidak adil pemerintah,” tandas Ihsan Jufri politis muda dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Sebab, lanjut Ihsan, pemerintah provinsi selama ini sudah mengeluarkan tentang patokan harga yang berlaku setiap 20 hari hingga satu bulan. “Tetapi lucunya pemerintah tidak pernah melakukan pemantauan terhadap harga sawit ditingkat petani. Apakah sudah sesuai pembeliannya dengan harga yang sudah dikeluarkan pemerintah itu atau tidak. Sehingga patokan harga itu hanya menjadi pajangan, dan bukan menjadi pedoman bagi masyarakat,” katanya.
Kalau Pemerintah Provinsi atau dinas terkait dalam persoalan ini, katanya, hanya sekedar mengeluarkan ketentuan harga sawit setiap bulannya, tapi tidak melakukan pantauan.
“Saya kira lebih baik tak usah dikeluarkan lagi itu. Karena mengeluarkan ketentuan harga itu buka bebani uang rakyat. Karena pihak yang duduk dalam rapat menentukan harga itu tentu memperoleh honor yang biayanya dibebankan pada anggaran negera. Anggaran negera itu sebagian diperoleh dari uang rakyat lewat pajak yang dibebani,” tandasnya.(*)