Sesaat kemudian, Larry menemukan pohon dengan lubang besar yang cocok untuk dimasuki pria dewasa. Dia segera masuk ke dalam, membersihkan lantainya yang kotor, lalu membungkuk di sudut setelah mengisi lubang dengan tumpukan daun.
Oleh : Monte Cristo
Lari! Kata-kata ini terus melekat di dalam kepala Larry Clarkson, menjelma jadi perintah yang mendesak untuk terus memacu kedua kakinya. Dia harus berlari untuk menghindari bahaya yang kini tengah mengincarnya. Sesekali dia akan melihat ke belakang, untuk mencari tahu apakah sesuatu yang tengah mengejarnya masih di sana atau tidak.
Tidak lama kemudian, Larry dapat melihat bahwa fajar telah muncul di ujung cakrawala. Sebentar lagi pagi akan tiba. Karena itu, dia harus segera mencari tempat yang tidak mudah dijangkau oleh sesuatu yang sedang mengejarnya.
Dia pun menoleh ke kiri dan kanan, lalu memutuskan untuk menuju ke barat karena di kejauhan sana terlihat kumpulan pohon pinus. Tempat itu bisa dijadikan lokasi bersembunyi untuk sementara waktu, pikirnya.
Dia berusaha berlari secepat mungkin untuk mencapai barisan pohon pinus. Dengan cara ini, dia berharap bisa menghemat sedikit waktu untuk mengecoh pengejarnya. Larry sadar betul bahwa yang bisa dilakukan hanya menghemat waktu karena cepat atau lambat apa yang mengejarnya pasti akan dengan mudah mencium jejaknya. Di belahan bumi mana pun.
Sesampai di muara hutan, Larry berlari ke sela-sela barisan pohon pinus sementara suasana beranjak terang karena matahari mulai meninggi. Larry mulai memutar otak, mencari sesuatu yang bisa menjadi tempat bersembunyi hingga malam hari tiba sebelum dia melanjutkan pelarian.
Sesaat kemudian, Larry menemukan pohon dengan lubang besar yang cocok untuk dimasuki pria dewasa. Dia segera masuk ke dalam, membersihkan lantainya yang kotor, lalu membungkuk di sudut setelah mengisi lubang dengan tumpukan daun.
Sembari membungkuk seperti itu, pikiran Larry terus-menceracau dihantui oleh teror kata-kata, “lari!” Dia membenamkan wajah di antara kedua paha, kemudian menggoyangkan tubuh sambil terus mengomel sendiri, “lari lari lari—,”
Matanya menatap keluar melalui celah di antara tumpukan dedaunan yang digunakan sebagai penghalang, dan terus seperti itu, sampai dia menyadari bahwa sekelilingnya telah gelap gulita. Malam datang begitu cepat, maka dia pun mulai merasa bahwa dirinya tidak bisa tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Tanpa banyak berpikir, Larry segera bangkit keluar dari lalu lari secepat mungkin hingga mendapati bahwa yang ada di depannya adalah jalan raya yang kosong melompong. Tidak ada satu makhluk pun di sana: begitu lengang.
Jika malam sebelumnya dia sempat mendengar lolongan serigala, malam ini tidak ada satu pun suara binatang yang terdengar. Karena jalanan gelap gulita, dia harus melepas sepatunya kembali lalu berlari tanpa alas kaki sehingga dia bisa merasakan bahwa kakinya masih menginjak aspal.
Larry percaya akan instingnya. Percaya bahwa sesuatu yang tengah mengejarnya itu sekarang berada tidak jauh darinya, bahkan sangat dekat. Dia ada di sana, membawa semua kengerian itu. Dia tidak ingin ditangkap. jika tertangkap maka berakhirlah sudah. Semua usahanya akan sia-sia belaka. Itu tidak boleh terjadi.
Jika orang tahu apa yang sedang mengejarnya, mereka pasti akan lari juga. Mereka pasti akan lari, sampai-sampai mereka tidak berpikir untuk mencuci kotoran mereka sendiri. Mereka akan berlari dengan semua itu.
Sayangnya, orang-orang terlalu bodoh untuk mempercayai apa yang dikatakan oleh Larry. Mereka pikir dirinya gila, padahal merekalah yang gila. Dasar bodoh, demikian pikir Larry. Orang-orang tidak tahu mimpi buruk apa yang sedang bergerak mendekat. Mereka terlalu bebal untuk mengerti. Mereka hanyalah kumpulan orang-orang terpelajar yang naif. Terlalu percaya diri. Tidak ada gunanya kuliah untuk mendapatkan gelar profesor jika mereka bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi.
“Ke mana rasio bodoh mereka akan membawa mereka? Bodoh! Tolol!”
Sambil berlari, Larry terus mengutuk dalam hatinya, mengutuk semua orang, mengutuk dunia ini, dunia yang tidak percaya padanya. Di dalam kepalanya bertaburan memori saat pertama kali mengingatkan orang-orang bahwa sesuatu yang benar-benar menakutkan sedang bergerak mendekat ke tenggorokan. Sesuatu yang akan menghancurkan segalanya dalam satu jentikan jari.
Tetapi orang-orang tidak percaya. Mereka malah mengejeknya. Mereka tidak hanya mengusir Larry, namun juga mempermalukannya dengan memberi cap bertuliskan “gila” dalam ukuran besar yang memenuhi dahi—yang kini masih dibawa Larry ke mana-mana. Namun, itu tidak seberapa, karena hal yang paling menyakitkan bagi Larry adalah keluarganya sendiri. Alih-alih membela mereka malah mencampakkannya ke dalam sebuah ruangan khusus di rumah sakit jiwa.
Larry mencoba melawan, tetapi tangan dan kakinya diikat. Mereka membiusnya, melemahkan perlawanannya, termasuk menyumbat mulutnya sehingga dia tidak bisa mempengaruhi orang lain tentang kebenaran yang ingin disampaikannya. Mereka menguncinya seperti binatang. Membuatnya tidur selama berbulan-bulan di atas kotorannya sendiri.
Tetapi, dia masih memiliki sesuatu untuk direncanakan. Ketika seorang perawat masuk ke ruangan untuk menyuntikkan dosis cuci otak lagi, saat itu Larry telah siap dengan peralatan makan yang disembunyikan di bawah brankar. Saat perawat itu terkecoh, Larry segera menancapkan garpu ke leher sang perawat sampai lalaki berbadan tegap itu jatuh dengan darah bercucuran membanjiri lantai.
Ketika dia berhasil keluar—dengan merobohkan salah satu penjaga, mendobrak pintu belakang lalu melompati pagar beton setinggi tujuh meter yang dilapisi kawat berduri—alarm rumah sakit jiwa itu pun segera meraung. Tetapi, Larry telah menghilang bagai hantu. Sejak hari itu, dia tidak pernah berhenti berlari hingga suatu saat bisa menemukan tempat yang paling aman, baik dari para petugas-petugas rumah sakit jiwa yang bengis itu maupun dari segala kemunafikan yang ada di dunia ini.