Musik dan Agama, Canduan Mana?

sumber ilustrasi: google.
Bagikan:

Kolumnis : Affan Ramli

Seminggu terakhir, para seniman di Aceh agak gerah. Dua serangan serentak menghakimi mereka. Masyarakat awam menuduh konser musik jadi sebab terjadinya bencana. Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) saat bersamaan mengumumkan ulang fatwa mereka, di Aceh konser musik dilarang. Dinilai lebih banyak mudharatnya.

Kedua serangan ini berat. Tak mudah diurai secara jernih, dalam percakapan rasional. Karena keduanya disandarkan pada pembenaran-pembenaran agama. Para seniman, terutama musisi ragu betul apakah mereka bisa memasuki gelanggang tarung jenis ini. Medan tempurnya licin, penuh jebakan, dan berbahaya.

Disbudpar mengira niat baik mereka cukuplah, buat memediasi dialog antara MPU, asosiasi parawisata, dan seniman. Menurunkan tensi para pihak dan menemukan formula yang adil bagi semua orang. Tetapi kita sudah dapat menduga, forum seperti itu tidak memberi ruang dialog bebas. MPU akan menggunakan otoritas keagamaan yang mereka punya untuk mendikte para seniman.

Ini momen tepat dalam sejarah kita, untuk meninjau ulang keberadaan otoritas agama. Para seniman dan intelektual sepatutnya berani mengambil sikap epistemik, mempertanyakan kembali apakah perkembangan masyarakat manusia kontemporer masih butuh otoritas agama yang diserahkan negara kepada segelintir orang.

Bagaimana jika segelintir orang itu tidak punya kecukupan wawasan keilmuan di luar studi agama. Padahal, dunia manusia telah berkembang pesat, melingkupi ragam dimensi realitas sosial yang tak terjangkau pemahaman dan pemaknaannya melalui disiplin keilmuan studi hukum agama.

Abdulkarim Soroush menarik perhatian dunia Islam dan barat, karena membincangkan gugatan ini lebih tajam melalui teorinya kembang-kencup pengetahuan agama. Ilmu agama, menurut Soroush, tidak mungkin berdiri terpisah, otonom, mandiri, dan stabil.

Selalu dan niscaya, ilmu agama seseorang, siapapun itu, dipengaruhi tingkat keluasan wawasan keilmuannya pada cara kerja dunia fisika sekitar dan cara bekerjanya dunia sosial dalam ruang-waktu ia tumbuh dan dibentuk. Sebab itu, teks-teks agama dimaknai sangat beragam, hasil keragaman luas-sempitnya wawasan keilmuan seseorang pada cabang-cabang keilmuan lain.

Baca Juga:  PJ Bupati Aceh Singkil Panggil KM Wira Mutiara, Tanggapi Soal Keluhan Supir Angkutan

Dunia fisika saya maksudkan di sini, mencakup ragam cabang keilmuan manusia tentang keseluruhan sisi materi, energi dan partikel semesta. Dari tubuh manusia, lingkungan, hingga tubuh bintang-bintang dan planet luar angkasa. Istilah fisika di sini, meliputi seluruh ilmu alam.

Sementara, dunia sosial manusia jauh lebih luas dan ruwet lagi. Dari jenis-jenis relasi kuasa, kondisi mental, alam percakapan, kata dan makna, pikiran dan pelembagaan-pelembagaan yang rumit dalam sistem ekonomi, pemerintahan, hiburan, dan imajinasi-imajinasi persaudaraan lintas batas.

Musik, adalah contoh terbaik dimana dunia fisika dan dunia sosial beriris kelindan menyusun wujudnya yang indah. Batas antara gerak fisika dan gerak sosial pembentuk musik benar-benar kabur. Tak heran, musik sebagai realitas kompleks sering gagal dipahami para pemilik otoritas agama. Terutama pemilik otoritas agama formil yang mendapat kekuasaan dari pemberian negara.

Bisakah MPU mengurai dengan halus pilahan-pilahan energi getaran fisika yang melahirkan nada, ragam cara dan kemampuan respon saraf manusia pada bunyi, pilihan kata yang didengungkan, dan gerak tubuh yang dipolakan oleh kebudayaan dalam rentang ruang waktu tertentu.

Sederhananya, jika melodi, harmoni, ritme, dan timbre dipelajari dengan sebenarnya, lengkap dengan pengetahuan neuroscience (ilmu sistem saraf), apakah mungkin ketua MPU Aceh sampai pada kesimpulan konser musik dilarang karena menyebabkan orang-orang hilang akal?

Frasa hilang akal, sengaja digunakan ketua MPU Aceh dalam sesi wawancara di sebuah media lokal, untuk memberi dasar kenapa konser musik sebaiknya ditiadakan. Dalam tradisi studi hukum Islam, hilang akal dapat didudukan sebagai illat (sebab) sesuatu dilarang. Jika illat hukum sesuatu sudah diketahui, maka dapat diperluas, dianalogikan pada kasus-kasus beragam yang dipandang berkongsi illat yang sama atau serupa.

Penalarannya begini, diantara sebab pelarangan minuman keras dan benda-benda narkotika adalah dampaknya yang memabukan, hilang akal, dan bikin kecanduan. Jika konser musik dapat menyebabkan hilang akal dan kecanduan, maka konser musik punya illat yang sama dengan minuman keras dan narkotika lainnya. Konser musik pun dapat dilarang.

Baca Juga:  Jelang Pemilu Serentak, Satbinmas Polres Aceh Selatan Lakukan Penilaian Poskamling

Itu argumentasi terkuat yang dipilih ketua MPU. Didasarkan pada kekurangcukupan wawasan keilmuannya pada realitas dunia fisika, terutama neuroscience. Argumentasi lainnya yang diajukan jauh lebih lemah. Dalam berbagai pemberitaan dinyatakan, konser musik dilarang karena pergelaran-pergelaran konser selama ini telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. ini kedengarannya lebih dekat ke seni retorik propaganda ketimbang sebuah pernyataan ilmiah.

Sialnya, selemah apapun argumentasi keilmuan yang mendasari pelarangan konser musik di Aceh, tidak begitu penting. Masyarakat awam banyak mendukungnya. Terutama mereka yang percaya konser-konser musik, punya hubungan sebab-akibat dengan peristiwa-peristiwa alam, yang terlanjur dikenali sebagai bencana dalam literatur percakapan umum. Seperti banjir, gempa bumi, badai, tsunami dan sejenisnya.

Peristiwa-peristiwa alam itu, dipahami sebagai bentuk kemarahan Tuhan pada komunitas manusia yang membandel, melanggar aturan-aturan agama. Kesedihan kita tidak terletak pada gagalnya masyarakat kita memahami peristiwa fisika. Ini dapat dimaklumi sebagai hasil dari rendahnya kualitas guru-guru ilmu alam di sekolah-sekolah publik yang diakses masyarakat kita tujuh dekade terakhir.

Justru, kesedihan kita yang amat sangat tak terhingga, terletak pada tuduhan-tuduhan mereka yang mempersonifikasi Tuhan bersifat pemarah atau mudah tersinggung dengan kebandelan manusia. Realitas Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang diulang-diulang puluhan kali setiap hari dalam ungkapan ritus keagamaan tiba-tiba tidak merasuki alam sadar masyarakat kita yang religius.

Apakah ini pertanda, guru-guru agama yang kita miliki tidak lebih baik kualitasnya dari guru-guru ilmu alam? Kenyataannya demikian, kegagalan masyarakat memahami peristiwa alam sekitar kita, seringkali diikuti dengan kegagalan memahami realitas Tuhan.

Baca Juga:  Polda Aceh Larang Mobil Barang Angkut Penumpang

Taroklah benar, bahwa Tuhan pernah memerintahkan alam menghancurkan sebuah kaum di masa lalu. Bukankah itu data partikular, khusus dan terbatas? Kemurkaan Tuhan selamanya tidak bisa diseret-seret pada peristiwa alam lainnya, dimana Tuhan sendiri tidak memberi keterangan apapun tentang itu.

Akal rasional menolak penarikan kesimpulan semborono, bahwa jika Tuhan pernah menghukum satu kaum di masa lalu dengan banjir, akibat kemaksiatan kaum itu, maka seluruh banjir berikutnya di jagat raya ini pasti dalam rangka menghukum kaum-kaum lainnya, juga karena bermaksiat.

Apakah Tuhan pernah menyusun satu silogisme dengan premis mayor, seluruh peristiwa alam yang mengakibatkan bencana adalah kemurkaan Tuhan?

MPU setidaknya benar dalam satu hal. Peristiwa hilang akal itu berbahaya. Ketika penalaran-penalaran macet, mental (zihin) tidak dapat bekerja dalam memahami berbagai kenyataan di sekeliling kita, rasio gagal mengurai dan menyusun bukti-bukti dalam cara induksi, deduksi atau cara lainnya, maka masyarakat manusia terpapar kerentanan. Berisiko candu pada dogma-dogma dan hayalan-hayalan.

Candu terbesar kita, nampaknya bukan musik, atau konser musik yang menjangkau hanya ribuan anak-anak muda. Tidak pun konser musik itu menghilangkan akal mereka. Paling banter, konser menciptakan suasana pemberontakan anak-anak muda pada kekangan tradisi ketertiban, pantangan hura-hura, dan larangan histeria.

Candu yang teramat besar adalah pengetahuan agama yang dogmatik. Jelas dan terbukti, menghilangkan akal dan atau memusuhi penalaran-penalaran keilmuan bekerja menguji ulang kesahihan keyakinan-keyakinan lama yang kita wariskan dari generasi sebelumnya melalui doktrin-doktrin. Candu agama menghambat penalaran jutaan dan milyaran manusia.

Pengetahuan agama, sekali lagi harus dipertegas, dibedakan dari agama. Islam sebagai agama, selalu benar sepanjang zaman. Pengetahuan-pengetahuan keislaman kita lah yang perlu ditinjau kembali, apakah disusun di atas keluasan wawasan keilmuan pada cara kerja dunia fisika dan dunia sosial yang cukup memadai?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.