“Kekerasan seksual merupakan perbuatan yang sangat keji dan tidak manusiawi. Salah satu penyebabnya, pola asuh orang tua dalam mengontrol anak di setiap aktivitas,” ujar Meutia Juliana.
Jurnalis : Sudirman Hamid
ANTARAN I BANDA ACEH – Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Aceh, mengkaji penyebab kekerasan seksual meningkat di bumi Serambi Mekah.
Pembahasan tersebut diulas dalam perbincangan Podcast Manager Program dan Jaringan YBHA Peutuah Mandiri, Elvida bersama Kadis DP3A Aceh Meutia Juliana, S.STP, M.Si di ruang YBHA, Jumat (26/1/2024) kemarin.
“Kegiatan itu terselenggara berkat dukungan NonViolent PeaceForce melalui Kedutaan Besar Belanda dalam program SPEAR (Support to transitional justice and reconciliation, promotion of human rights, and sustenance of peace in Aceh),” ujar Elvida kepada antaran melalui siaran pers, Sabtu (27/01/2024).
Pihaknya mengaku, kegiatan ini rutin dilaksanakan dengan menghadirkan sejumlah stakeholder terkait penanganan dalam advokasi perempuan dan anak di seantero Aceh.
Sebagai warga negara yang baik dan sesuai tuntunan agama, perlindungan anak di sekeliling kita merupakan tanggungjawab bersama.
“Peran orangtua dan segenap elemen masyarakat harus lebih jeli melihat potensi-potensi perbuatan buruk terhadap anak di sekeliling kita. Apabila ditemukan indikasi akan terjadi kekerasan seksual dapat dicegah sejak dini. Dan bila ada kejadian jangan dibiarkan membisu,” ajak Elvida.
Sementara itu, Kadis DP3A Aceh, Meutia Juliana menyampaikan pandangannya, kekerasan seksual terhadap anak tidak terlepas pola asuh dan kontrol orang tua di segala lini.
“Kekerasan seksual merupakan perbuatan yang sangat keji dan tidak manusiawi. Salah satu penyebabnya, pola asuh orang tua dalam mengontrol anak di setiap aktivitas,” ujar Meutia Juliana.
Ia menghimbau masyarakat untuk membuat laporan kepada penegak hukum agar si pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya kepada siapapun di kemudian hari.
Problema yang dialami, korban dan keluarga ketakutan untuk melaporkan hingga menutupi dengan alasan aib, sehingga pada akhirnya tidak memberi efek jera dan akan jatuh korban selanjutnya.
“Pada hal si korban perlu pemulihan psikologi yang komprehensif dan maksimal. Rasa ketakutan dan malu menutupi perbuatan keji dan masa depan si anak,” urai Meutia Juliana.(*)